Rabu, 26 Agustus 2009

Kisah Semangkuk Bakso

Mungkin Anda pernah bertanya dalam hati, mengapa harga semangkuk bakso sekarang Rp7.000,00 padahal tahun yang lalu masih seharga Rp5.000,00 padahal segitu-gitu juga isinya?

Sebenarnya, Saya pun juga memiliki pertanyaan yang sama. Dari sisi content tidak ada yang berubah, semangkuk bakso berisi beberapa daging bakso, mie kuning dan mie putih yang ditaburi sedikit sayuran. Tapi mengapa harganya terus bergerak naik? Dari hasil riset saya di pasar (halah, sok ilmiah he2).. Kenaikan harga semangkuk bakso dipicu oleh kenaikan harga daging sapi, mie dan sayuran sebagai bahan-bahan untuk membuat bakso. Kata si penjual daging sapi, "harganya dah naik dari sononya pak" lalu penjual mie bilang "tepung terigu lagi langka pak" dan tidak ketinggalan mbah Warni penjual sayur menambahkan "semalam pasti nggak lihat TV, kata penyiarnya ini akibat "implasi" Mas " dan Saya pun tersenyum kagum (mungkin INFLASI maksudnya).

Sembako langka, masyarakat susah mendapatkan barang, harga naik sehingga memicu inflasi adalah berita-berita yang sering kita dengar dari obrolan tetangga, radio maupun televisi. Kondisi ini melengkapi apa yang dikatakan oleh ketiga penjual tadi. Lho, yang benar itu "inflasi menyebabkan kenaikan harga" atau "kenaikan harga memicu inflasi"? Marilah kita berbicara mengenai Inflasi.



Inflasi itu apa sich?

Dari situsnya Bank Indonesia, Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.

Inflasi ada dua yaitu Inflasi Inti dan inflasi non Inti, penjelasannya sebagai berikut:

1. Inflasi Inti
    yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental:
    - Interaksi permintaan-penawaran (permintaan melebihi penawaran menyebabkan kelangkaan barang)
    - Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
    - Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti
    Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Dalam hal ini terdiri dari :

-Inflasi yang dipengaruhi shocks dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, gangguan penyakit.

-Inflasi Administered Prices : yakni inflasi yang dipengaruhi shocks berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan, dll

Selengkapnya dapat anda lihat disini

Jadi, Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.

Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price)1, dan terjadi negative supply shocks)2 akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).

Lho, kok malah dikuliahi. Maaf Bapak/Ibu, bukan bermaksud mengajari, tapi setidaknya kita memiliki pemahaman yang utuh mengenai inflasi. Betul nggak?



Sekelumit petualangan Inflasi di negara tercinta

Beirkut ini contoh inflasi non Inti, yaitu inflasi yang dipengaruhi selain faktor Non-Fundamental berupa Administered Price yaitu kebijakan pemerintah untuk memotong nilai nominal uang (sanering) dan mendepresiasi nilai rupiah (saat belum diberlakukannya Sistem Devisa Bebas).

Nilai nominal uang kertas (nilai yang tertera dalam uang kertas) terbesar kita saat ini adalah Rp100.000,00 yang bergambar pahlawan proklamator Soekarno-Hatta. Sejak Merdeka, pada tahun 1945 (kira-kira 65 tahun yang lalu) kita pernah mengalami pemotongan nilai nominal atau yang lebih dikenal dengan sanering karena keterpurukan ekonomi nasional sebanyak empat kali yaitu:

  • Pemotongan dari Rp1000 (seribu rupiah) menjadi Rp1 (satu rupiah) sebanyak dua kali
  • Pemotongan dari Rp10 (sepuluh rupiah) menjadi Rp1 (satu rupiah) sebanyak satu kali
  • Pemotongan nilai nominal dari Rp2 (dua rupiah) menjadi Rp1 (satu rupiah) sebanyak satu kali
Luar biasa bukan? Kita juga perlu memahami bahwa sanering adalah pilihan terakhir disaat tidak ada lagi alternatif. Dapat kita umpamakan dengan amputasi.

Selain itu nilai nominal rupiah kita selalu terdepresiasi dengan kurs mata uang dollar Amerika Serikat (US$). Saya masih ingat, saat masih di bangku SMP (sekitar awal tahun 1990-an) kurs 1 US$ berkisar Rp1.800-an. Sekarang, saat artikel ini ditulis kurs 1US$ adalah Rp9.950,00. Artinya selama hampir 20 tahun, nilai mata uang rupiah berkurang nilainya sebesar 452% atau 4,5 kalinya. Jika dihitung penurunan nilai per tahun berkisar 20-an % atau 1/5 nya.

Kondisi yang lebih buruk, penurunan nilai mata uang di masyarakat biasanya lebih besar dari 20-an%. Contohnya seperti semangkuk bakso diatas, yaitu setahun lalu harganya Rp5.000,00 sekarang Rp7.000,00 artinya ada kenaikan harga sebesar Rp2.000,00 atau sebesar 40% dari harga setahun yang lalu. Uniknya lagi, jika satu barang itu harganya naik maka akan diikuti oleh kenaikan harga barang-barang yang lain (persis seperti definisi inflasi di atas, yaitu kenaikan harga secara meluas….dan melas (Jw=kasihan, menyedihkan)).

Sekarang, kalo kita mencoba menghitung berapa sebenarnya nilai uang Rp100.000,00?

Jika kita mendasarkan dari sanering sebanyak empat kali maka uang kertas Rp100.000,00 hanya senilai dengan Rp0,005 (tidak sampai satu rupiah pun) belum lagi jika kita menghitung dengan depresiasi tahunan terhadap mata uang US$. Terus terang, Saya tidak mampu untuk menghitungnya.

Kesimpulannya, nilai nominal mata uang kertas kita terbesar saat ini yang bernilai Rp100.000,00 ternyata nilainya tidak sampai satu rupiah yaitu kurang dari Rp0,005 pada saat negara tercinta ini MERDEKA. (Saya sungguh berharap hitungan Saya ini salah, mohon dikoreksi)



Melindungi uang kita dari Inflasi

Bagaimana menyelamatkan uang yang telah kita peroleh dengan pengerahan seluruh kemampuan kita? Salah satu caranya dengan memegang real asset (kekayaan yang sebenarnya) atau ada pula yang menyebut aset sejati, bukan asset yang harganya ditetapkan oleh undang-undang seperti mata uang.

Diantara aset sejati yang ada yang nilainya belum digembungkan nilainya dan punya likuiditas tinggi adalah emas. Emas bukan saja aset tetapi uang. Emas adalah uang sejati yang likuid. Jumlah emas memang bertambah, mungkin 1%-2% per tahun karena penambangan, ada inflasi. Tetapi pertambahannya bukan seperti uang kertas. Emas harus ditambang dengan susah payah dan keringat, sedang uang kertas dapat dicetak dengan mudah.

Nilai riil emas relatif tetap. Misalnya 14 abad lalu harga seekor kambing di gurun Arabia sana, kira-kira 1-2 dinar (4.3 - 8.6 gram emas). Sekarang pun harga kambing semahal itu. Jadi emas bisa melestarikan nilai tabungan anda. Artinya kalau hari ini anda mendapat upah seharga seekor kambing hari ini, dan anda tukarkan dengan emas serta ditabung untuk masa pensiun. Maka 30 tahun kemudian jika anda memerlukan seekor kambing, anda dapat membelinya dengan emas hasil penjualan kambing 30 tahun lalu. Ini tidak mungkin jika anda menyimpan dengan rupiah, pasti! (mungkin hanya tinggal kurang dari 1 kg daging kambing saja dapatnya).

Jadi..., tujuan menyimpan emas selain untuk menambah kekayaan, kita dapat menjaga hasil jerih payah dan keringat sendiri supaya nilainya tetap. Saya juga menganjurkan, jika melakukan perjanjian hutang-menghutang agar digunakan standar emas. Inilah cara yang adil jika perjanjian ini berlaku untuk masa waktu yang lama.

Sudah jelas khan, emas memang membuat rupiah Anda berkilau.

Wah, nggak terasa perut udah lapar, kepingin makan bakso. Eitts, lupa…ini khan Bulan Puasa.






0 komentar:

Posting Komentar